21.57

Biografi Dan Perjalanan Singkat



Namaku Ali Winarso Muhammad Ariz Mursyid,tidak ada yang istimewa dari diriku.Aku hanya orang biasa,bukan dari golongan kyai atau ulama’,juga bukanlah orang pintar atau alim dalam hal agama,juga bukanlah seorang yang arif dalam urusan spiritual atau kebathinan.Aku dilahirkan dari keluarga sederhana,sederhana pula keseharianku karena itulah citra khas dari silsilah keluargaku.Dari jalur ayah urutan nasab sampai  Abu Dzarr Al-Ghifari ra seorang tokoh sufi yang hidup dijaman Rasullullah dalam serba kekurangan,tapi aku tidak akan membahas urutan nasab ini. Dari jalur nasab ibuku  jalur Sultan Hadiwijaya yang turun-temurun tidak mendapat warisan tanah dan kesemua kakek buyutku lebih senang menjadi keluarga kawula alit(orang biasa)yang hidup pas-pasan.Kalian bisa memanggilku dengan Ki Gede Trunajaya,nama itu sengaja aku pilih untuk mengabadikan seorang tokoh  pejuang yang mendirikan tanah kelahiranku yaitu Pangeran Trunajaya,seorang ningrat darah biru dari Madura.Kali ini aku tidak akan membahas sanad atau silsilahku,karena bagiku apalah arti sebuah silsilah.Jika diriku kotor tetap saja silsilah tidak bisa dibuat berbangga.
“Dan Nuh berkata: "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya." Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir."Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang". Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.(QS.Huud:41-43)

 Kegemaranku sejak kecil berburu ilmu beladiri dan ilmu rohani.Selama 5 tahun tercatat menjadi warga persilatan Ki Ageng Pandan Alas dibawah asuhan Bp.Kustari Adi Andaya Madiun Jawa Timur,juga murid ilmi Hikmah Kendal dan padepokan Permata Murni Malang.Aku pun pernah ngawula ngangsu kawruh dikediaman almarhum Eyang Mitro di Ngasem Boyolali,seorang guru spiritual jawa yang kucatat beliau berumur 110 tahun,dan secara silaturahmi menjalin hubungan privat dengan banyak praktisi metafisika.Karena kegemaranku itu guru ngajiku Kyai Ahmad Mufattah memberiku nama Mursyid agar aku bisa menjadi guru bagi diriku sendiri.
Dari seorang ustadz Khoirul Muhammad Iqbal keturunan putera Madura yang mempersunting kembang kampung anak bayan desa,aku memperoleh amalan ilmu warisan Syaikh Muhammad Kholil Al-Bangkalani.Ciri khas dari ilmu beliau adalah thoriqoh Qodiriyyah wa Naqshabandiyah.Syaikh Kholil Al Bangkalani adalah murid Syekh Nawawi Banten yang memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu'ti Muhammad Nawawi ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani mengikuti bimbingan dari Syeikh Ahmad Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia). Syaikh Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Salah satu Guru utamanya pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi. Sehingga Kyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq dalam karyanya “al-Wasiilatul Hariyyah” mensifatkan Syaikh Kholil sebagai ” beliau yang dalam ilmu nahwunya seperti Sibawaih, dalam ilmu fiqh seperti Imam an-Nawawi dan dari segi banyak kasyaf dan karomah seperti al-Quthub al-Jilani.”
Penyebaran karya Syaikh Nawawi Al-Bantani tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Syaikh Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama), K.H Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, K.H Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, K.H Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, K.H Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Syaikh Nawawi.
Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan wama jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh Hasyim Asy'ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir.
Syaikh Kholil Al-Bangkalani Madura adalah seseorang yang dituakan oleh Syaikh Hasyim Asy’ari dan dianggap guru spiritual.Dalam upaya pendirian Nahdlatul ulama’ yang diprakarsai oleh Syaikh Hasyim Asy’ari,Syaikh Kholil memberikan nasehat dan bimbingan melalui simbolis tongkat dan tasbih.Dari simbolis ini Syaikh Hasyim Asy’ari menemukan ide pokok berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama’.
Kalau mengurutkan nasab amalan yang aku dapati dari Ustadz Khoirul Muhammad Iqbal tentu aku akan kesulitan melacak,karena Ustadz Khoirul Muhammad Iqbal tidak memberikan catatan silsilah kepada para muridnya.Namun keseluruhan amalan ini banyak dijumpai didalam buku panduan istighosah kubro yang diberikan dan diijazahkan oleh para kyai dan ulama’ NU(Nahdlatul Ulama’)kepada khalayak umum.
Dalam kesulitanku dan kebingungan dari sejarah amalan yang diajarkan Ustadz Khoirul Muhammad Iqbal ini,suatu hari ditahun 2002 aku bermimpi bertemu Sunan Kalijaga.Beliau memberikan dua pilihan antara tongkat dan tasbih.Aku memilih tasbihnya.Sedangkan simbolis yang diberikan oleh Syaikh Kholil Al-Bangkalani kepada Syaikh Hasyim Asy’ari dalam pendirian Nahdlatul Ulama’ yang kedua atau yang terakhir adalah juga simbolis sebuah tasbih.Jadi tanpa ragu saya berani menyimpulkan bahwa amalan yang diberikan oleh Ustadz Khoirul Muhammad Iqbal adalah berasal dari sumber yang sama yaitu Syaikh Muhammad Kholil Al-Bangkalani karena banyak terdapat dalam istighosah kubro dan beberapa karya Syaikh Kholil Al-Bangkalani yang diwariskan untuk umum melalui para kyai dan ulama’ NU.
Tanggal 1 September 2002 malam aku mimpi didatangi Syaikh Muhammad Idris yang mengatakan akan menempuh perjalanan jauh,beliau seorang tokoh legendaris thoriqoh Syadziliyah di Boyolali,dan itulah terakhir kalinya aku melihat beliau.Karena tanggal 4 September 2002 beliau telah berpulang kerahmatullah.Syaikh Muhammad Idris adalah mursyid thoriqoh Syadziliyyah yang secara langsung berguru kepada Syaikh Mufthi Kamal dan Syaikh Mukhtarom Makkatul Mukaromah.Melalui murid dan sekaligus pengganti Syaikh Muhammad Idris yaitu Syaikh Ali Khasan aku mengambil bai’at thoriqoh Syadziliyah dan menjadi salik(murid penimba ilmu)di thoriqoh Imam Abul Hasan As-Syadzili ra.
Malam lebaran Idul Fitri 1423H tidak seperti biasanya kualami,dimana seluruh kaum muslimin dan para sahabat karibku merasa gembira dengan menyambut datangnya hari raya nan fitri esok hari,justru hatiku hampa.Aku merasa belum pantas merayakan arti kemenangan tersebut.Bagaimana aku bisa mengatakan menang,sedang dalam diri ini belumlah mampu memerangi rasa riya’ terhadap pamrih duniawi,bagaimana aku bisa mengatakan menang sedangkan samudera dosa terus kujalani bak buih pasir dipantai yang tak habis terkikis ombak laut.Aku malu kepada para guruku yang selalu menasehatiku dijalan kebenaran,namun aku sedikit pun belum mengerti sebuah maknanya kebenaran,aku malu kepada para malaikat yang bertasbih dengan ikhlas diseluruh kolong penjuru langit dan bumi yang tak henti mendo’akan hari kemenangan umat islam diseluruh negeri,terlebih malu lagi dengan Allah penciptaku karena sebagai hamba-Nya aku tidaklah mengerti arti menjadi hamba yang berbakti.Aku lebih miskin segalanya dari pada faqir miskin dan anak yatim piatu atau para musafir yang diberi uang zakat dan beras oleh panitia pengurus zakat yang dibentuk takmir masjid.Bagaimana aku bisa merasa gembira seperti meraka?Bilamana nyawa ini diambil oleh pemilik-Nya,rasanya aku tidak sanggup kalau harus  bertemu dengan dzat yang wajah-Nya maha mulia dengan badan jasmani yang penuh najis dan kotornya jiwa.Sedangkan siang dan malam puasa bulan Ramadhan yang agung dan penuh ampunan belumlah sanggup seluruhnya menebus dosaku yang kalau dihamparkan dan dibentangkan lebih luas dari penjuru langit dan bumi.Tiba-tiba besok pagi bulan yang penuh ampunan ini sudah pergi  lagi.
Malam itu aku sholat lailatul idil fitri,setelah selesai aku tidur digudang yang tak terpakai disamping masjid.Aku lebih hina dari pada gelandangan yang tidur diemperan toko dipinggir jalan yang meminta tempat berteduh.Dimalam itu juga aku bermimpi ketemu Rasullullah SAW.Kucium tangan beliau yang halus melebihi sutra dan terpancar hawa sejuk dari tangan beliau melebihi hujan salju ditengah terik mentari,wajahnya terang seperti bulan purnama dimalam gelap gulita.Beliau tersenyum kepadaku dan mengajak untuk mengiringi perjalanan beliau.Dengan takdzim aku tuntun tunggangan beliau.Selama perjalanan itu aku diajak berziarah kemakam Siti Aisyah ra,Siti Khodijah ra,Siti Fatimah ra dan makam para sahabat.Sampai diujung perjalanan seraya beliau bersabda:”kamu mengingatkanku pada salah seorang sahabatku,Utsman Al-Mukhtar...!”.Kemudian aku terbangun.
Ternyata kebiasaanku tidur dimasjid, pada jaman dahulu juga dilakukan oleh pendahuluku Abu Dzar Al-Ghifari ra sebagaimana diceritakan dibawah ini:
Asma’ bintu Yazid bin As Sakan menceritakan, bahwa di suatu hari Abu Dzar setelah menjalankan tugas kesehariannya melayani Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, dia beristirahat di masjid, dan memang tempat tinggalnya di masjid. Maka masuklah Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam ke masjid dan mendapati Abu Dzar dalam keadaan sedang tiduran padanya. Maka Rasulullah meremas jari jemari telapak kakinya dengan telapak kaki beliau, sehingga Abu Dzar pun duduk dengan sempurna. Rasulullah menanyainya : Tidakkah aku melihat engkau tidur ?. Maka dia menjawab : Dimana lagi aku bisa tidur, apakah ada rumah bagiku selain masjid ? Maka Rasulullah pun duduk bersamanya, kemudian beliau bertanya kepadanya : Apa yang akan engkau lakukan bila engkau diusir dari masjid ini ?. Abu Dzar menjawabnya : Aku akan pindah ke negeri Syam, karena Syam adalah negeri tempat hijrah, dan negeri hari kebangkitan di padang mahsyar, dan negeri para Nabi, sehingga aku akan menjadi penduduk negeri itu. Kemudian Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam bertanya lagi kepadanya : Bagaimana pula bila engkau diusir dari negeri Syam ? Maka Abu Dzar menjawab : Aku akan kembali ke Masjid ini dan akan aku jadikan masjid ini sebagai rumahku dan tempat tinggalku. Kemudian Nabi bertanya lagi : Bagaimana kalau engkau diusir lagi dari padanya ? Abu Dzar menjawab : Kalau begitu aku akan mengambil pedangku dan aku akan memerangi pihak yang mengusirku sehingga aku mati. Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tersenyum kecut mendengar jawaban Abu Dzar itu dan beliau menyatakan kepadanya : Maukah aku tunjukkan kepadamu yang lebih baik darinya ? Segera saja Abu Dzar menyatakan : Tentu, demi bapakku dan ibuku wahai Rasulullah. Maka beliaupun menyatakan kepadanya : “Engkau ikuti penguasamu, kemana saja dia perintahkan kamu, engkau pergi kemana saja engkau digiring oleh penguasamu, sehingga engkau menjumpaiku (yakni menjumpaiku di alam qubur) dalam keadaan mentaati penguasamu itu”. HR. Ahmad dalam Musnadnya jilid 6 hal. 457.
Bulan September 2009 aku bermimpi bertemu Syaikh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani bersama Syaikh Hisyam Kabbani Ar-Rabbani dan dua orang murid beliau sekaligus mursyid perwakilan di Indonesia dari cabang thoriqoh Naqshabandi Al-Haqqani yaitu KH.Syaikh Agus Sukarmin Al-Fattah Habibullah(KalBar) dan KH.Syaikh Muhammad Ali Bagi Harta As-Sidiq As-Shomadi(NTT).Syaikh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani mengajariku cara membangun sebuah gedung spiritual hingga secara keseluruhan bisa berdiri dan tertutup atap,ibarat rumah yang siap dihuni dan digunakan.Kulihat beliau sampai berkeringat dan berpeluh,setelah selesai kami istirahat sejenak duduk dalam satu majelis.
Menurut penjelasan Syaikh Hisyam Kabbani Ar-Rabbani tentang keistimewaan masing-masing mursyid Naqshabandi dalam memberikan pelajaran kepada para muridnya,apa yang saya alami ini bukanlah barang yang mustahil.Semuanya adalah karena kekuasaan Allah.
Seluruh pelajaran dalam ilmu Peluruh Karang adalah rangkaian gabungan dari apa yang dapat saya susunkan dan kesemuanya adalah bukan barang baru.Namun begitu saya adalah bukan guru bagi kalian,saya hanyalah guru bagi diriku sendiri.Untuk berguru kalian harus mengambil sanad dari jalur Rasullullah melalui ahli bait,karena itulah sebaik-baiknya guru dan pemimpin kalian.Sedangkan saya dengan Peluruh Karang tidak ada catatan takdir guru,tetapi hanyalah teman latihan yang saling mengompliti.Jika dirimu ada kekurangan mungkin tekhnik peluruh karang bisa melengkapi kekurangan tersebut.Namun jika saya banyak kekurangan mungkin kalian bisa melengkapi kekuranganku.Dengan saling melengkapi,kita semua para pencari jalan mudah-mudahan bisa saling menyusun risalah yang komplit.
Semua pengamal peluruh karang adalah murid Syaikh Muh.Kholil Al-Bangkalani dan Syaikh Ali Abul Hasan As-Syadzili ra juga murid Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani ra yang terus menyambung kehadirat Rasullullah SAW dari jalur Sayyidina Ali Bin Abu Tholib kw.Kalian juga adalah murid Syaikh Muh.Nazim Adil Al-Haqqani yang dari padanya terus menyambung ke Sayyidina Abu Bakar As-Sidiq ra dan berujung Rasullullah SAW.
Sayyidina Ali Bin Abu Tholib kw pernah berkata:”Abu Dzar adalah penyimpan jenis-jenis ilmu pengetahuan yang tidak dapat diperoleh dari orang lain”.
Andaikata dalam diriku mewarisinya kalian bisa mengambil sebanyak apapun yang bisa kalian bawa.Bilamana dalam diriku terdapat salah dalam memaparkannya tinggalkanlah sejauh mungkin kalian bisa meninggalkannya.Seperti itu sudah cukup.
Saya kira catatan ringkas saya ini saya tutup disini,jika dituliskan akan teramat panjang.Pesanku jangan ceritakan perihal diriku kepada siapapun,cukup dirimu saja yang mengetahui.Seorang murid yang telah tamat berguru tidak akan suka dalam perdebatan karena sudah sedikit lebih berpengetahuan.Jika terpaksa harus berdebat maka belajarlah lagi karena sebenarnya masih banyak kekurangan pengetahuan.
Wallahu ‘alam.